Wanita itu aku
Kuhirup aroma kopi dalam- dalam. Hmm...peningku berangsur- angsur mulai menghilang. Banyak masalah yang kuhadapi sekarang ini. Masalah itu bukan semakin berkurang tetapi semakin bertambah saja ku rasakan. Kalau sudah begini cuma kopi, teman yang selalu setia menemaniku memberangus masalah- masalah itu sejenak. Ahh..seandainya aku kemarin tak melakukan itu pasti sekarang Bram ada di sampingku, menggenggam tanganku dan mendengar semua keluh kesahku, pikirku sedih.
“Bodoh...bodoh...kamu bodoh Dina. Kenapa kamu sia- siakan orang yang sangat berarti bagimu, orang yang sangat sangat menyukaimu,” ujarku kesal kepada diriku sendiri. Bram pasti tak mau memaafkanku lagi. Terlalu banyak kata maaf yang sudah ku ucap padanya. Aaah..mungkin dia sudah muak padaku atau mungkin dia sudah mencari penggantiku, pikirku lagi. Tak terasa sudah 2 jam aku duduk melamun di Cafe ini.
Beberapa hari ini terasa hampa tanpa Bram. Gelak tawa Bram, suara Baritonnya, lesung pipinya, tatapan lembut matanya, wangi parfum Black Code beraroma maskulin oriental yang segar yang selalu dia pakai. Semua yang ada di dirinya begitu membuatku rindu. Kembali ku minum kopi yang sudah mulai dingin.
Sebenarnya masalah antara aku dan Bram hanyalah masalah sepele. Bram telah melamarku tiga kali tetapi selalu aku tolak. Bukan karena aku tidak menyukai Bram tapi lantaran aku belum siap. Bram pertama kali melamarku ketika aku berusia delapan belas tahun, ketika itu aku belum berpikir untuk menikah di usia itu, aku ingin menjadi Sarjana Psikologi paling tidak lulusan S1. Bram pun mengerti dengan alasan yang ku utarakan kepadanya. Sempat kulihat seberkas rasa kecewa di matanya. Dia pun memaksakan sesungging senyum hanya untuk mencairkan suasana yang sempat membeku sesaat di antara kami.
Setelah empat tahun berlalu dan aku sudah menjadi Sarjana Psikologi dengan predikat cum laud. Bram menemuiku untuk memberiku selamat dan mencium keningku. Sepertinya dia bangga padaku, pikirku waktu itu.
“Dina, sekarang kamu sudah menjadi Sarjana. Apa yang kamu inginkan sudah tercapai...” Aku terdiam menunggu kelanjutan kata- katanya. “Do you marry me?” ucapnya yakin, dia mengeluarkan kotak kecil dari saku celana jeansnya. Belum habis keterkejutanku, Dia membuka kotak itu dan aku membelalakan mata ketika ku lihat cincin berlian yang sangat indah. Ku taksir harganya ratusan juta.
Tetapi jawaban yang keluar dari mulutku bukan kata “yes” atau “ya”, mungkin lebih tepatnya bukan kata- kata yang ingin di dengar Bram.
“Maaf Bram, aku masih belum siap untuk menikah, Aku ingin bekerja dulu, aku ingin mencari banyak pengalaman, aku ingin berkarier” jawabku dengan menunduk, aku tak bisa melihat bagaimana reaksi Bram. Apakah dia akan marah karena aku mengingkari kata- kata ku beberapa tahun lalu. Ternyata Bram tidak marah. Bram hanya mengatakan bahwa dia akan menungguku.
Sore itu tanpa sengaja aku dan Bram bertemu di Cafe ini. Kami pun duduk berhadapan di meja paling pojok. Kami sama- sama menanyakan kabar satu sama lain. Banyak yang kami bicarakan, dari mulai orang tua kami, film terbaru, lagu yang sedang nge-hits, hingga rayuan- rayuan gombal yang sedang nge-tren sekarang ini. Setelah kami menyantap makan malam, Bram mulai menyinggung tentang niatnya melamarku lagi. Dia tahu kalau aku sudah sukses dalam berkarier. Tetapi aku menolaknya lagi dengan kata maaf dan maaf karena aku belum siap. Raut wajah Bram terlihat kecewa dengan jawabanku.
“Dina, aku tidak mungkin menunggumu lagi. Umurku sudah tiga puluh tahun. Sebenarnya kamu itu suka padaku atau tidak??Sudah sepuluh tahun aku menunggumu!” Ujarnya kesal. “Aku sudah lelah menunggumu!” Dia pun beranjak pergi meninggalkan aku yang masih termangu memikirkan kata- katanya.
Malam itu aku bermimpi melihat Bram menikah dengan wanita yang sangat cantik, rambutnya lurus sebahu, dia memakai gaun berwarna putih seperti yang di pakai Bram. Belum sempat aku mengetahui siapa wanita itu, aku sudah terbangun dan aku baru menyadari bahwa aku telah membohongi perasaanku selama ini bahwa sebenarnya aku sangat menyukai Bram, bahkan aku mencintainya.
Paginya aku bergegas menemui Bram dirumahnya tapi rumahnya sepi. Aku menghubungi ponsel Bram tetapi tidak ada jawaban. Aku mencari ke kantornya bahkan ke tempat- tempat yang sering dia kunjungi tetapi hasilnya nihil. Air mataku mulai menggenang dipelupuk mata, satu persatu butiran air mata jatuh mengalir membasahi pipiku. Tangisku pecah. Aku tahu aku sudah terlambat. Bram marah padaku.
Aku memutuskan mengunjungi Cafe di mana Bram sempat melamarku. Dan disinilah aku, mengenang kejadian beberapa hari yang lalu. Suara orang menarik kursi di depanku membuyarkan lamunanku.
“Apa aku sedang bermimpi?” Tanyaku seperti orang bodoh. Dia hanya menggeleng. ”Kamu dari mana saja?Beberapa hari ini aku mencarimu kemana- mana.” Tanyaku dengan suara parau. Dia hanya tersenyum dan meletakkan tas carrier. Aku terteggun melihatnya, dia mengenakan celana army dan jaket parasut berwarna coklat yang kontras dengan kulitnya yang putih.
“Maaf membuatmu khawatir. Aku kemarin ke Gunung Sindoro.” Jawabnya singkat.
“Bram maafkan aku. Selama ini aku salah. Aku membohongi perasaanku. Aku sadar bahwa aku sebenarnya sangat menyukaimu.”
Bram tersenyum, menampakkan lesung pipinya. Dia mengambil sesuatu dari tas carriernya, setangkai bunga Edelweis berwarna putih. Dia memberikan bunga keabadian itu padaku dan kembali dia melamarku. Aku tidak bisa berkata- kata, aku hanya menganggukkan kepalaku. Dia pun memelukku erat. Dan di detik itu aku tahu siapa wanita yang menikah dengan Bram dimimpiku.
note : mksh buad sseorang yg sudah mmberi inspirasi kpd qu..
note : mksh buad sseorang yg sudah mmberi inspirasi kpd qu..
sumber gambar : wallpapers-diq.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
tolong tinggalkan komentar ya! selamat membaca :D